وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:
( وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ -
أَوْ لِأَخِيهِ- مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ) مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari
Anas bin Malik radhiallâhu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda: "Tidaklah (sempurna) iman seseorang diantara kalian hingga dia
mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri". (H.R.
Muttafaqun 'Alaih).
Catatan: Lafazh hadits diatas terdapat dalam Shahih Bukhari
tetapi tanpa kata yang kami garisbawahi "bin Malik ". Kami cantumkan demikian
karena naskah aslinya dari kitab "Jami'ul 'ulum wal Hikam" demikian.
Takhrij Hadits secara global
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, juga
dikeluarkan oleh Imam Ahmad, at-Turmuzi, Ibnu Majah, an-Nasai dan Ibnu Hibban.
Makna hadits secara global
Dalam
hadits diatas, Rasulullah menjelaskan bahwa salah satu dari ciri kesempurnaan
iman seseorang adalah dia memberikan porsi kecintaan terhadap saudara nya
se-iman melebihi cintanya pada dirinya sendiri.
Penjelasan tambahan
Dalam
riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad terdapat penjelasan tentang makna
penafian iman dalam hadits diatas yaitu menafikan pencapaian hakikat dan puncak
keimanan karena banyak sekali disebutkan dalam hadits-hadits Nabi tentang
penafian iman lantaran tiada terpenuhinya sebagian dari rukun-rukun dan
kewajiban-kewajiban yang terkait dengannya. Seperti dalam makna sabda beliau:
"Tidaklah seorang pezina melakukan perbuatan zina ketika dia melakukannya;
sedangkan dia dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang pencuri melakukan
pencurian ketika dia mencuri; sedangkan dia dalam keadaan beriman, dan tidaklah
meminum khamar/arak ketika dia meminumnya; sedangkan dia dalam keadaan beriman".
Juga dalam seperti dalam sabdanya yang lain: "Tidaklah beriman (sempurna
imannya) orang yang tetangganya tidak aman dari ucapan-ucapannya".
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik diatas, menunjukkan
bahwa seorang Mukmin merasa senang dan gembira bila saudaranya se-iman merasakan
hal yang sama dengan yang dia rasakan. Begitu juga, dia ingin agar saudaranya
itu mendapatkan kebaikan seperti yang dianugerahkan kepadanya. Hal ini bisa
terealisasi manakala dada seorang Mukmin secara sempurna terselamatkan dari
penyakit dengki dan ngibul. Sebab sifat dengki mengindikasikan bahwa si
pendengki tidak suka bila kebaikan seseorang melebihi dirinya atau bahkan
menyamainya. Dia ingin agar kelebihan yang ada padanya selalu diatas orang lain
dan tidak ada orang yang menyainginya sedangkan keimanan mengindikasikan
sebaliknya; yaitu agar semua orang-orang yang beriman sama-sama diberikan
kebaikan seperti dirinya tanpa dikurangi sedikitpun. Oleh karena itu, dalam
KitabNya Allah memuji orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di muka bumi. Dia Ta'ala berfirman: "Negeri akhirat itu, Kami jadikan
untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di
(muka) bumi..". (Q.,s. 28/al-Qashash: 83).
Diantara hadits yang semakna dengan hadits Anas diatas, adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu'adz, bahwasanya dia bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang iman yang paling utama, maka
beliau bersabda: "iman yang paling utama adalah engkau mencintai karena Allah
dan membenci karena Allah, engkau pekerjakan lisanmu dalam berzikir kepada
Allah". Mereka lantas bertanya : kemudian apa lagi wahai Rasulullah! , beliau
menjawab: "engkau mencintai manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri
dan engkau benci (sesuatu yang buruk terjadi) terhadapnya sebagaimana engkau
membenci hal itu terjadi terhadap dirimu, dan engkau berkata dengan perkataan
yang baik atau engkau diam". Namun dalam memaparkan hadits ini, Mushannif
memakai lafazh "ruwiya" dimana dalam istilah hadits merupakan bentuk yang
menunjukkan "tamridh" alias hadits ini masih dipertanyakan keshahihannya dan
kevalidan sumbernya meskipun dari sisi makna adalah shahih.
Implikasi dari terpatrinya sifat iman diatas
Diantara implikasi dari tercapainya keimanan melalui sifat mencintai
saudara se-iman seperti tersebut diatas adalah bahwa sifat tersebut dapat
membawa pemiliknya masuk surga. Hal ini dipertegas dalam hadits-hadits lain,
diantaranya: hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Yazid bin Asad
la-Qasri, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda
kepadaku: "apakah kamu menginginkan surga?, aku berkata: Ya, lalu beliau
bersabda: "oleh karena itu, cintailah saudaramu sebagaimana engkau mencintai
dirimu sendiri". Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
'Abdullah bin 'Amru bin al-'Ash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda: "barangsiapa yang ingin agar dirinya dijauhkan dari api neraka dan
dimasukkan ke surga, maka hendaklah saat dia menemui ajalnya dalam keadaan
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan dia memberikan kepada manusia sesuatu
yang dia suka hal itu diberikan kepadanya".
Hal
ini juga diterapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghifari, dia berkata: Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda kepadaku: "wahai Abu Dzar! Sesungguhnya aku melihatmu
seorang yang lemah, dan aku mencintaimu sebagaimana aku mencintai diriku
sendiri; janganlah engkau menjadi amir (pemimpin) atas dua orang, dan janganlah
pula engkau menjadi wali atas harta anak yatim". Mengomentari hadits ini,
Mushannif mengatakan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam melarang Abu Dzar
untuk melakukan hal tersebut lantaran beliau memandang bahwa dia (Abu Dzar)
merupakan sosok yang lemah dalam hal itu (memimpin/leadership), sedangkan beliau
mencintai setiap orang yang lemah, termasuk Abu Dzar sendiri. Adapun kenapa
beliau dapat menjalankan tugas mengatur urusan orang banyak, hal itu karena
Allah telah memberikan kekuatan kepada beliau untuk melakukannya, dan
memerintahkan kepada beliau untuk mengajak seluruh makhluk agar loyal
terhadapnya serta mengembankan tugas kepada beliau untuk mengarahkan urusan
agama dan dunia mereka.
Ada
riwayat dari 'Ali bin Abi Thalib yang intinya menunjukkan bahwa dia
merealisasikan hadits Anas diatas sebagaimana Rasul juga telah
merealisasikannya, namun riwayat tersebut masih dipertanyakan keshahihannya
bahkan ada yang mengatakan kualitasnya lemah sekali.
Permasalahan hadits
Ada beberapa permasalahan yang terkait dengan hadits diatas:
1)
Masalah pelaku dosa-dosa besar (Murtakibul Kaba-ir)
Para
Ulama berbeda pendapat mengenai pelaku dosa-dosa besar; apakah dia seoraang
Mukmin tetapi iman nya kurang ataukah dia tidak dinamakan sebagai seorang Mukmin
tetapi disebut sebagai seorang Muslim?. Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang
keduanya merupakan riwayat dari Imam Ahmad.
Sedangkan terhadap pelaku dosa-dosa kecil (Murtakibush Shagha-ir),
maka lebel "iman" tidak hilang darinya secara keseluruhan tetapi dia adalah
seorang Mukmin yang kurang imannya dan kekurangan ini terjadi sesuai dengan dosa
yang dilakukannya.
Mengenai pelaku dosa-dosa besar diatas, pendapat yang mengatakan
bahwa pelaku dosa-dosa besar adalah seorang Mukmin yang kurang imannya berasal
dari Jabir bin Abdullah (seorang shahabat), Ibnu Mubarak, Ishaq bin Rahawaih,
Abu 'Ubaid, dan lain-lain. Sementara itu, pendapat kedua yang mengatakan bahwa
pelaku dosa besar adalah seorang Muslim bukan Mukmin berasal dari Abu Ja'far,
Muhammad bin 'Ali. Mushannif menyebutkan bahwa ada sebagian ulama yang
menyatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ahlus Sunnah.
Berkaitan dengan iman, Abdullah bin Rawahah, Abu Darda', Imam Ahmad
dan lain-lain menyatakan bahwa iman itu seperti baju yang terkadang dipakai oleh
seseorang dan terkadang pula dicopotnya. Menurut Mushannif, makna dari ucapan
diatas adalah: bila seseorang telah dapat menyempurnakan sifat keimanan maka dia
akan memakainya dan bila keimanan tersebut berkurang sedikit maka dia akan
mencopotnya. Hal ini semua mengisyaratkan dapat terealisasinya iman yang
benar-benar sempurna yang tidak kurang sesuatupun dari kewajiban-kewajiban yang
berkaitan dengannya. Maksudnya, bahwa diantara ciri-ciri sifat iman yang wajib
adalah seseorang mencintai saudaranya se-iman sama seperti dia mencintai dirinya
sendiri. Begitu pula, dia tidak suka bila sesuatu terjadi terhadapnya sama
seperti dia tidak suka hal itu akan terjadi terhadap dirinya. Bila perasaan
semacam itu telah hilang dari jiwanya, maka karenanya pula imannya akan
berkurang. Terdapat hadits yang mendukung makna tersebut, yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari Waatsilah bin al-Asqa' dari Abu Hurairah,
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cintailah manusia sebagaimana
engkau mencintai diri sendiri maka engkau akan menjadi seorang Muslim".
2)
Masalah orang yang menyombongkan diri dan berbuat kerusakan seperti yang
disinggung dalam ayat 83 surat al-Qashash diatas
Dalam
ayat 83 surat al-Qashash diatas disebutkan bahwa " Negeri akhirat itu, Kami
jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat
kerusakan di (muka) bumi..".
Ada
yang mengatakan bahwa ayat tersebut berlaku bila seseorang ingin menyombongkan
diri atas orang lain bukan karena hanya sekedar menonjolkan keindahan
(berindah-indah) semata. 'Ikrimah dan para Mufassir lainnya mengomentari ayat
ini dengan mengatakan: (maksudnya) kesombongan di muka bumi adalah
takabbur/berlaku sombong dan mencari kemuliaan serta kedudukan di sisi penguasa.
Sedangkan maksud dari berbuat kerusakan dalam ayat tersebut adalah melakukan
perbuatan maksiat.
Dalam
kaitannya dengan hal diatas, banyak hadits yang menyatakan bahwa orang yang
tidak suka orang lain melebihi kecantikan/ketampanan dirinya tidak berdosa.
Diantaranya, hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan al-Hakim dari Ibnu
Mas'ud radhiallâhu 'anhu, dia berkata: aku mengunjungi Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam yang saat itu disampingnya ada Malik bin Mararah ar-Rahawi, lantas aku
memergokinya berkata kepada Rasulullah: wahai Rasulullah! Engkau telah mellihat
bahwa Allah telah memberikan ketampanan kepadaku dan aku tidak suka seorang pun
yang melebihiku meskipun seukuran dua pasang sandal atau lebih, apakah hal ini
termasuk perbuatan melampaui batas? Beliau bersabda: "tidak, ini bukan termasuk
perbuatan melampaui batas, tetapi yang dikatakan melampau batas itu adalah orang
yang menolak dan mengingkari kebenaran. (perawi mengatakan: atau sabda
beliau-red) orang yang meremehkan kebenaran dan menyombongkan diri terhadap
manusia".
Dalam
hadits ini Rasulullah menafikan ketidaksukaan terhadap orang yang melebihi diri
seseorang dalam keindahan rupa termasuk kategori "baghy" (melampaui batas) atau
"kibr" (menyombongkan diri). Bahkan beliau menafsirkan keduanya dengan: "menolak
dan mengingkari kebenaran dan takabbur. Juga menolak untuk menerimanya secara
sombong bila bertentangan dengan hawa nafsunya". Oleh karenanya, sebagian Salaf
berkata: Tawadhu' adalah menerima kebenaran dari siapa saja yang membawanya
meskipun lebih muda/kecil; barangsiapa yang menerima kebenaran dari siapa saja
yang membawanya meskipun dia muda atau tua, menyukai atau membencinya maka dia
adalah Mutawaadhi' (orang yang memiliki sifat tawadhu') sedangkan orang yang
menolak untuk menerima kebenaran secara sombong maka dia adalah Mutakabbir
(seorang yang memiliki sifat sombong).
3) Masalah tahadduts dengan nikmat
Jika
seseorang mengetahui bahwa Allah menganugerahkan keistimewaan kepada dirinya
yang tidak dimiliki oleh orang lain lantas dia meceritakan hal itu kepada orang
banyak demi kepentingan yang bersifat keagamaan dan dia menceritakan hal itu
dalam rangka tahadduts binni'am (menceritakan nikmat) yang diberikan kepadanya.
Dalam hal ini juga dia melihat bahwa dirinya belum maksimal dalam bersyukur maka
hal ini adalah boleh.
Sikap
semacam ini ditunjukkan oleh Ibnu Mas'ud saat berkata: "sepanjang pengetahuanku,
tidak ada orang yang lebih mengetahui Kitabullah dari diriku". Meskipun begitu,
hal ini tidak menghalangi dirinya untuk selalu menginginkan agar orang-orang
dapat menyamainya dalam keistimewaan yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya
tersebut. Begitu juga, Ibnu 'Abbas pernah berkata: "sesungguhnya saat aku
mengkaji dan memahami ayat per-ayat dari Kitabullah, maka kala itu juga aku
ingin agar semua orang mengetahui apa yang aku ketahui". Demikian juga dengan
Imam asy-Syafi'i saat dia berkata: "aku ingin agar orang-orang yang mempelajari
ilmu ini (apa yang ia tulis dalam bukunya, dsb) tidak menisbatkannya kepadaku".
Secara global, hendaklah seorang Mukmin mencintai kaum Mukminin
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri, begitu pula dia tidak suka sesuatu
yang jelek terjadi terhadap mereka sebagaimana dia tidak suka hal itu terjadi
pada dirinya. Jika dia melihat ada kekurangan dalam masalah agama pada
saudaranya se-Islam maka dia berupaya dengan serius untuk sedapat mungkin
memperbaikinya.
Dalam
hal ini, sebagian Salaf menyatakan bahwa orang-orang yang mencintai saudaranya
karena Allah, mereka akan memandang dengan Nur Allah, mereka amat prihatin
terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat maksiat,
mencerca perbuatan tersebut dan berupaya merubahnya melalui nasihat,
menyayangkan bila raga mereka dibakar oleh api neraka.
Seorang Mukmin tidak dikatakan sebagai sebenar-benar Mukmin hingga
dia rela bila orang lain mendapatkan sesuatu yang baik sebagaimana dia rela hal
itu dia dapatkan juga, dan tidak lah dia dikatakan sebagai Mukmin bila melihat
kelebihan yang ada pada orang lain melebihi dirinya kemudian dia bercita-cita
ingin mendapatkan kelebihan itu pula namun bila kelebihan tersebut dalam masalah
yang bersifat keagamaan maka hal itu adalah baik sebab Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam juga pernah bercita-cita mendapatkan kedudukan yang dicapai melalui
mati syahid.
Karenanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah
boleh mendengki kecuali terhadap dua spesifikasi: seorang yang dikarunia oleh
Allah dengan harta, lalu dia infaqkan harta tersebut sepanjang siang dan malam;
dan seorang yang dikaruniai oleh Allah dengan Al-Qur'an lalu dia membacanya
(dengan mentadabburinya) sepanjang malam dan siang".
Dalam
hadits yang lain dijelaskan juga bahwa orang yang melihat saudaranya menafkahkan
hartanya di jalan ketaatan, kemudian dia berkata pada dirinya: "andaikan saya
memiliki harta seperti itu niscaya akan saya lakukan begini dan begitu (di jalan
ketaatan)", maka orang tersebut mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang
memiliki harta dan menafkahkan hartanya tersebut di jalan ketaatan. Akan tetapi
hal ini tidak berlaku dalam masalah duniawi dan tidak baik bercita-cita seperti
itu (lihat Q.,s. al-Qashash: 79-80).
Yang
jelas, hendaknya seorang Mukmin bersedih bila dia tidak dapat melakukan dan
mendapatkan kelebihan dalam hal yang bersifat keagamaan, oleh karena itu
diperintahkan kepadanya dalam hal ini untuk memandang kepada orang yang lebih
dari dirinya dan berlomba-lomba untuk mendapatkannya dengan seluruh kekuatan dan
kemampuan yang ada padanya. Allah berfirman: "…dan untuk yang demikian itu
hendaknya orang berlomba-lomba". (Q.,s. 83/al-Muthaffifiin: 26). Dia tidak boleh
membenci siapapun yang menyamainya dalam hal ini bahkan amat senang bila semua
orang berlomba-lomba di dalamnya dan mengajak orang kepada hal itu.
Inilah tingkatan yang sempurna dalam memberi nashihat kepada kaum
Muslimin. Al-Fudhail bin 'Ayadh berkata: "jika kamu ingin agar orang lain
sepertimu maka kamu dianggap belum melaksanakan nasihat karena Tuhanmu,
bagaimana tidak? Sebab (dengan begitu berarti) anda ingin agar kondisi mereka di
bawah anda". Disini al-Fudhail mengisyaratkan bahwa memberi nasihat kepada
mereka artinya dia ingin agar mereka melebihi dirinya.
Dan
inilah kedudukan dan tingkat yang tinggi dalam memberikan nasihat namun hal ini
bukan merupakan suatu kewajiban. Sebenarnya yang diperintahkan oleh syara'
adalah keinginannya agar mereka sama seperti dirinya, meskipun demikian bila
seseorang melebihi dirinya dalam masalah yang bersifat keagamaan maka dia mesti
berusaha untuk mendapatkannya dan bersedih atas ketidak maksimalannya di
dalamnya. Hal semacam ini bukan dikategorikan sebagai hasad (dengki) atas
karunia yang diberikan oleh Allah kepada mereka akan tetapi dalam rangka
berlomba-lomba dengan mereka dalam kebaikan.
Bila
seorang Mukmin merasa bahwa dirinya masih belum maksimal dalam menggapai
kedudukan yang tinggi dalam masalah yang bersifat keagamaan, maka dia akan
mendapatkan dua keuntungan: Pertama , dia akan berupaya untuk mendapatkan
kedudukan tersebut dan ingin terus meningkatkannya. Kedua, dia selalu melihat
dirinya masih memiliki kekurangan; hal ini berimplikasi kepada sikap ingin agar
kaum Mukminin lebih baik dari dirinya karena dia tidak rela kondisi mereka sama
seperti dirinya tersebut sebagaimana ketidakrelaannya dengan apa yang terjadi
terhadap dirinya bahkan dia akan berusaha memperbaikinya.
Muhammad bin Waasi' berkata kepada anaknya: " mudah-mudahan Allah
tidak memperbanyak di kalangan kaum Muslimin orang seperti bapakmu ini". Dengan
demikian, bilamana seseorang tidak rela terhadap dirinya maka bagaimana mungkin
dia menginginkan kaum Muslimin sama kondisinya seperti dirinya dan memberikan
nasihat kepada mereka? Bahkan selayaknyalah dia menginginkan agar kondisi mereka
lebih baik dari dirinya dan ingin agar kondisi dirinya selalu lebih baik dari
kondisi yang tengah dialaminya.
Intisari Hadits
-
Hendaknya seorang Mukmin mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri, begitu pula dia tidak suka bila saudaranya mendapatkan sesuatu yang tidak baik sebagaimana dia tidak suka hal itu terjadi pada dirinya.
-
Syara' memerintahkan agar seorang Mukmin selalu menginginkan saudaranya mendapatkan kelebihan yang sama seperti yang Allah anugerahkan kepadanya, namun adalah merupakan tingkatan memberi nasihat yang tinggi bila dia ingin agar saudaranya itu melebihi dirinya dalam hal tersebut.
-
Berlomba-lomba dalam ketaatan dan kebaikan bukan termasuk melampaui batas dan hal yang dilarang bahkan dianjurkan.
-
Menceritakan nikmat yang dianugerahkan oleh Allah kepada kita dalam rangka bersyukur adalah dibolehkan. Wallaahu a'lam
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
kami menunggu komentar anda